Selasa, 13 November 2012

Analisis Laporan Keuangan (A. Kebangkrutan)



Analisis Kebangkrutan
Analisis terhadap peluang kebangkrutan suatu perusahaan dipandang penting bagi suatu perusahaan. Analisis ini mencakup penggunaan model-model prediksi kebangkrutan yang meliputi:
a.      Model Univariat
Model univariat dalam prediksi kebangkrutan suatu perusahaan digunakan untuk mengkaji hubungan antara rasio keuangan tertentu dengan kebangkrutan suatu perusahaan.
Model ini dikembangkan oleh William Beaver yang mulanya meneliti 29 rasio keuangan perusahaan selama lima tahun dengan menggunakan sample perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut. Dari hasil penelitian tersebut, Beaver menemukan enam rasio keuangan yang dianggap mempunyai daya pembeda (discriminating power) yang sangat baik yang dapat membedakan perusahaan yang sehat dan tidak sehat. Keenam rasio keuangan tersebut adalah:
1.      Laba bersih sebelum depresiasi, deplesi, dan amortisasi terhadap total kewajiban (net income before depreciation, depletion, & amortization to total liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya arus kas dari kegiatan operasi yang tersedia untuk dapat memenuhi seluruh kewajiban perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.

2.      Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih.
3.      Total utang terhadap total aktiva (total debt to total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya pendanaan utang yang digunakan untuk membiayai seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan.
4.      Modal kerja bersih terhadap total aktiva (net working capital to total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
5.      Aktiva lancar terhadap kewajiban lancar (current assets to current liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya aktiva lancar yang tersedia untuk dapat memenuhi kewajiban lancar perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
6.      Kas, surat-surat berharga, piutang usaha terhadap beban-beban operasi tidak termasuk depresiasi, deplesi, dan amortisasi (cash, marketable securities, account receivable to operating expenses excluding depreciation, depletion, & amortization)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tersedianya alat likuiditas untuk dapat memenuhi beban-beban operasi tunai perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
b.      Model Multivariat,
Model multivariat merupakan suatu model yang mengkombinasikan beberapa rasio keuangan secara bersama-sama (simultan) memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Dalam model Multivariat ini, terdiri dari:
1.      Model Z-Score
Model Z-Score merupakan salah satu model multivariat telah dikembangkan oleh Edward Altman. Model ini dikembangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Altman yang memilih sampel beberapa perusahaan yang bangkrut dan perusahaan yang sehat pada ukuran dan industri yang sama. Dari hasil penelitian Altman menemukan lima rasio keuangan yang dianggap paling baik membedakan perusahaan yang sehat dan bangkrut. Kelima rasio keuangan tersebut adalah:
a)      Modal kerja bersih terhadap total aktiva (net working capital to total assets = X1)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
b)      Laba ditahan terhadap total aktiva (retained earnings to total assets = X2)
Rasio ini menunjukkan profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat penggunaan laba ditahan untuk membiayai aktiva perusahaan.
c)      Laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aktiva (earnings before interest and taxes to total assets = X3)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi perusahaan.
d)     Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku kewajiban (market value of equity to book value of liabilities = X4)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang perusahaan serta penilaian terhadap profitabilitas, dimana hasil pengukurannya menunjukkan struktur pendanaan yang digunakan untuk membiayai seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
e)      Penjualan terhadap total aktiva (sales to total assets = X5)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan.
Berdasarkan rasio keuangan tersebut sebagai variabel prediktor ditemukan model prediksi sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan :
Standar Penilaian (Cut off point) Model Z-Score
Ukuran
Keterangan
Z-Score < 1,81
Peluang bangkrut besar
Z-Score > 3,00
Peluang bangkrut kecil
1,81 ≤ Z-Score  ≤ 3,00
Daerah abu-abu

2.      Model Logit (Ohlson)
Salah satu Model Multivariat yang lain adalah Model Analisis Logit (logit analysis) yang dikembangkan oleh James A. Ohlson. Pada model ini, Ohlson menemukan sembilan rasio keuangan sebagai variabel prediktor yang dianggap paling baik yaitu:
a)      Logaritma alam (ln) total aktiva terhadap Deflator GNP (natural log of total assets to GNP implicit Price Deflator Index = SIZE)
b)      Total kewajiban terhadap total aktiva (total liabilities to total assets = TLTA)
c)      Aktiva lancar kurang kewajiban lancar terhadap total aktiva (current assets – current liabilities to total assets = WCTA)
d)     Kewajiban lancar  terhadap aktiva lancar (current liabilities to current assets = CLCA)
e)      Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets = NITA)
f)       Dana dari operasi terhadap total kewajiban (funds from operations to total liabilities = FUTL)
g)      Variabel dummy yaitu bernilai satu jika laba bersih negatif selama dua tahun terakhir dan bernilai nol jika tidak demikian (one if net income was negative for the last two years and zero otherwise = INTWO)
h)      Variabel dummy yaitu bernilai satu jika total kewajiban melebih total aktiva dan bernilai nol jika tidak demikian (one if total liabilities exceed total asset and zero otherwise = OENEG)
i)        (Laba bersiht – Laba bersiht-1)/(│Laba bersiht│ +│Laba bersiht-1│) = CHIN
j)        Kriteria penilaian:
k)      Cut off point = 3,8%, jadi jika p > 3,8% berarti perusahaan berpeluang bangkrut

Berdasarkan kesembilan variabel prediktor tersebut, Ohlson menetapkan fungsi multivariat sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan
 

Selanjutnya untuk menghitung peluang kebangkrutan dapat digunakan formulasi sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan :
 
Keterangan:     p = adalah peluang kebangkrutan
e = adalah bilangan logaritma bernilai 2,718282
y = adalah fungsi multivariat


Perencanaan Pajak Atas Penyusutan



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Perencanaan Pajak
Secara garis besar pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut Mohammad Zain dalam bukunya Manajemen Perpajakan  (2005:43) menyebutkan bahwa: Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. 
 Adapun pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut Nur Hidayat dalam artikel Tax Planning Bukan Untuk Hindari Pajak  (2005:1) menyebutkan bahwa: Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah upaya menekan jumlah kewajiban pajak dengan cara legal”.
Dari  kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak adalah upaya untuk mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban pajak dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.
Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena penyelundupan pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.1.2  Pengertian Penyusutan
Pengertian penyusutan atau depresiasi menurut Zaki Baridwan, (2004:305) “depresiasi adalah sebagian dari harga perolehan aktiva tetap yang secara sistematis dialokasikan menjadi biaya stai periode akuntansi”.
Menurut PSAK No. 17 (2004.17.1)  Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyusutan menurut Akuntansi Perpajakan terapan adalah sebagai berikut : “Proses alokasi sebagian  harga perolehan aktiva menjadi biaya (costallocation), sehingga biaya tersebut mengurangi laba usaha” (Prabowo, Yusdianto, Op.cit, Hal 22)
Dimana, aktiva yang dapat disusutkan adalah aktiva yang:
a.          Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode
b.         Memiliki suatu manfaat yang terbatas
c.          Ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau memasok barang dan jasa, untuk disewakan atau untuk tujuan administrasi.
Penting bagi kita untuk memperhatikan akuntansi penyusutan terhadap akuntansi tetap, karena penyusutan merupakan pengalokasian biaya. Karena kesalahan dalam pengalokasian biaya akan mempengaruhi perhitungan laba rugi.
2.1.3    Kebijakan Pajak untuk Penyusutan
Kebijakan pajak untuk bagian penyusutan  harus mempertimbangkan 3 (tiga) hal, yaitu: (Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Edisi 3, Salemba empat, Jakarta, 2006, Hal 30) 
a.       Keadilan pajak (tax equity)
Untuk keadilan pajak perlu diperhatikan jenis kegiatan dari wajib pajak, apakah termasuk perusahaan manufaktur atau perusahaan jasa. Dan juga harus memperhatikan struktur modalnya, apakah termasuk padat modal (capital intensive) atau padat karya (labour intensive). Dengan adanya penyusutan, maka perusahaan manufaktur dan jenis usaha yang padat modal (capital intensive) akan lebih diuntungkan dibandingkan perusahaan jasa ataupun jenis usaha padat karya (labor intensive).
b.       Kebijakan ekonomi (economy policy)
 Dengan adanya penyusutan membawa akibat pada peningkatan investasi (capital growth). Jika penyusutan besar maka laba setelah pajak juga besar, pengembalian atas investasi (return on investment-ROI) besar, sehingga pada akhirnya menyebabkam arus kas menjadi tinggi.
Menurut ketentuan perpajakan, perhitungan penyusutan dimulia pada tahun perolehan. Secara ekonomis dapat diatur dengan peraturan tertentu secara selektif, untuk mendorong atau menghambat suatu peningkatan modal. Penyusutan secara selektif dapat dibedakan menjadi:
1)      Penyusutan untuk barang baru atau barang bekas
2)      Penyusutan berdasarkan jenis industry tertentu
3)      Penyusutan berdasarkan jenis asset
4)      Penyusutan berdasarkan lokasi (terpencil)
c.        Administrasi (administration)
Secara administrasi penyusutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sederhana dan kompleks. Pemilihan jenis penyusutan, baik yang sederhana ataupun yang komplek, tergantung pada beberapa hal, seperti besarnya biaya administrasi, sumberdaya manusia, dan kepatuhan dari Wajib Pajak.
2.1.4. Karakteristik Dari Aset yang Dapat Disusutkan
          Karakteristik dari asset yang dapat disusutkan adalah:
a.       Digunakan dalam kegiatan usaha
Aset yang boleh disusutkan adalah asset yang dipakai dalam usaha atau menjalankan usaha. Aset ini dapat dibedakan menjadi asset bisnis, asset campuran, dan asset pribadi.
Untuk asset bisnis dapat disustkan semuanya, sedangkan untuk aset campuran boleh disusutkan sebagian sesuai dengan yang digunakan dalam kegiatan  usaha.
b.      Nilainya menurun secara bertahap
Nilai asset yang dapat disusutkan harus menurun secara bertahap, baik karena semakin buruk fisiknya atau karena faktor kualitas.
Kalau nilainya tidak menurun secara bertahap makan tidak dapat disusutkan tetapi langsung dibiayakan, sedangkan untuk aset yang tidak dapat disusutkan adalah tanah, asset pendanaan, barang dagangan dan persediaan.
c.       Aset berwujud dan asset tidak berwujud
Aset berwujud maupun asset tidak berwujud yang mempunyai manfaat lebih dari satu periode yang disusutkan.
Untuk asset yang tidak berwujud penyusutannya disebut dengan amortisasi.
d.      Piihak yang berhak melakukan penyusutan
Pihak yang berhak melakukan pemyusutan adalah:
1)      Pihak yang menggunakan asset tersebut untuk kegiatan usaha
2)      Pemilik, dapat dibagi menjadi:
a)      Legal owner
b)      Beneficial owner
e.       Saat dilakukan penyusutan
Secara umum dapat dilakukan adalah saat digunakan, tetapi adakalanya pada tahun perolehan.
f.       Dasar untuk melakukan penyusutan
Pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)      Harga perolehan (historical cost)
Termasuk didalamnya adalah  harga, ongkos dan pajak. Pajak yang dapat dikreditkan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat dikreditkan dengan pajak keluaran yang tidak termasuk dalam harga perolehan.
2)      Harga pergantian (replacement cost)
Pada prinsipnya harga perhgantian tidak diperkenankan, Karen untuk kepentingan pencatatan menggunakan harga perolehan.
3)      Revaluasi (revaluation)
Suatu asset yang telah direvaluasi biasanya disusutkan berdasarkan  nilai revaluasinya.
2.1.5. Penyusutan yang Dipercepat
                   Penyusutan dapat dipercepat untuk dapat meningkatkan arus kas. Karena penyusutannya besar, maka pajak yang akan dibayar lebih kecil dan pengembalian atas investasi menjadi tinggi.
              Metode yang dapat digunakan adalah:
a.       Dipercepat (accelerated)
Terdapat dua cara utama dalam penyusutan tercepat, yaitu:
1)      Metode saldo menurun ganda (double declining balance method)
Metode saldo menurun ganda sering disebut metode penyusutan yang dipercepat (accelerated depreciation method). Metode ini sering kali digunakan dengan pertimbangan bahwa biaya pemeliharaan dan perbaikan asset tetap akan cenderung meningkat dengan bertambahnya usia aset tetap. Oleh karena itu, berkurangnya jumlah penyusutan pada tahun-tahun berikutnya dalam metode ini akan diimbangi dengan peningkatan beban pemeliharaan dan perbaikan
Metode saldo menurun ganda menggunakan nilai buku untuk menghitung penyusutan, penyusutan yang diterapkan pada nilai buku adalah 40% pertahun atau dua kali lipat (dobel) dari garis lurus yaitu 20% per tahun.
2)      Metode jumlah angka tahunan (sum of the year digits method).
Metode penyusutan ini menghasilkan tarif penyusutan yang menurun dengan dasarpenurunan pecahan dari nilai yang dapat disusutkan yakni harga perolehan dikurang dengannilai sisa dan setiap pecahan menggunakan jumlah tahun sebagai bilangan penyebut.
Misalnya jika kita memiliki umur pakai selama 4 tahun, sehingga kita menambahkan 1 + 2 + 3 + 4 = 10. kemudian penyusuta akan menjadi 4/10 tahun pertama, 3/10 tahun kedua, 2/10 tahun ketiga dan 1/10 tahun keempat. Sehingga jika harga beli 5000 dikurangi nilai sisa 1000, hasil yang diperoleh 4000. maka untuk tahun pertama 4/10 dari 4000 adalah 1600; tahun kedua 3/10 dari 4000 adalah 1200; tahun ketiga 2/10 dari 4000 adalah 800; tahun ke empat 1/10 dari 4000 adalah 400. (Merlina Hamadi)



b.      Memperpendek umur (shorted life)
Dengan umur yang menjadi pendek maka unsur pembagi yang digunakan untuk menentukan  nilai aktiva menjadi lebih kecil, sehingga penyusutan menjadi lebihbesar.
c.       Bebas (Arbitrary deduction)
2.1.6.  Penyusutan Berdasarkan Peraturan Perpajakan
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU PPh bahwa pengeluaran untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara penghasilanyang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dibebankan sekaligus, melainkan melalui penyusutan. Hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras dengan prinsip penandingan antara pengeluaran dan penerimaan ( matching cost againsts revenue ).
Dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan mempertahankan penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, tidak dapat diperkurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun demikian, dalam perhitungan dan penerapan tariff penyusutan untuk keperluan pajak, perlu diperhatikan dasar hukum penyusutan fiscal, karena dapat berbeda dengan penyusutan untuk akuntansi.
Mulai tahun 1995 ketentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan secara individual per aset, tidak lagi secara gabungan ( berdasarkan golongan ) seperti yang berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil yang sama atau sejenis masih boleh menggunakan penyusutan secara golongan.
Ø  Saat Mulainya Penyusutan
Undang-undang Pajak Penghasilan secara khusus dan eksplisit menetapkan saat dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan. Penyusutan fiskal harus dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini hanya dapat terjadi karena hal-hal berikut:
a.       Harta / aset yang masih dalam proses pengerjaan
Untuk harta / aset dalam proses pengerjaan , penyusutan dimulai pada tahun selesainya pekerjaan tersebut. Jadi, walaupun pada umumnya penyusutan atas aset dimulai pada tahun perolehan tetapi untuk harta /aset yang pengerjaannya memerlukan waktu lebuh dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat selesaunya harta/ aset yang bersangkutan.
b.      Harta / aset dalam usaha sewa guna usaha
Penyusutan terhadap harta dalam sewa guna usaha khususnya sewa guna usaha tanpa hak opsi dimulai pada bulan harta tersebut disewagunausahakan.

c.       Wajib Pajak yang mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak, apabila tidak mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan pada tahun harta / aset tersebut menghasilkan.
Ø  Pengelompokan Harta berwujud
Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh, semua aset tetap berwujud yang memenuhi syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan terlebih dahulu menjadi dua golongan :
a.       Harta berwujud kelompok bukan bangunan
b.      Harta berwujud kelompok bangunan
Harta berwujud bukan bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut :
Kelompok Bukan Bangunan
Masa manfaat
Kelompok 1
4 Tahun
Kelompok 2
8 Tahun
Kelompok 3
16 Tahun
Kelompok 4
20 Tahun
                       
Harta berwujud bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut :
Kelompok  Bangunan
Masa manfaat
Bangunan Permanen
20 tahun
Bangunan Tidak Permanen
10 tahun

Ø  Metode dan Tarif Penyusutan Fiskal
Mulai tahun 1995 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih metode penyusutan fiskal untuk aset tetap berwujud bukan bangunan, yaitu metode saldo menurun ganda atau metode garis lurus. Metode mana yang akan dipakai bergantung pada Wajib Pajak, sepanjang dilaksanakan dengan taat asas. Satu yang perlu dicatat adalah bahwa metode yang dipilih harus diterapkan terhadap seluruh kelompok harta.
Maksudnya, Wajib Pajak tidak dapat menggunakan metode saldo menurun terhadap kelompok yang satu dan menerapkan metode garis lurus terhadap kelompok lainnya.
TARIF PENYUSUTAN UNTUK ASET TETAP BUKAN BANGUNAN
Kelompok Bukan Bangunan
Tarif Penyusutan
Metode Garis Lurus
Metode Saldo Menurun
Kelompok 1
25,00 %
50,00%
Kelompok 2
12,50 %
25,00%
Kelompok 3
6,25 %
12,50%
Kelompok 4
5,00 %
10,00%

TARIF PENYUSUTAN UNTUK ASET TETAP BERUPA BANGUNAN
Kelompok  Bangunan
Tarif Penyusutan (Metode Garis Lurus )
Bangunan Permanen
5%
Bangunan Tidak Permanen
10%
2.1.7.  Penyusutan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
Aset tetap dan akuntansi penyusutan diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) didalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 16 tentang Aset Tetap dan Aset Lain-lain , PSAK Nomor 17 tentang Akuntansi Penyusutan.
Ø Metode Penyusutan
Penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dikelompokkan menurut kriteria berikut :
a.       Berdasarkan waktu
1)       Metode Garis Lurus
2)      Metode pembebanan yang menurun :
a)       Metode jumlah angka tahun
b)      Metode saldo menurun/ saldo menurun ganda
b.      Berdasarkan penggunaan
1)      Metode jam jasa
2)      Metode jumlah unit
c.       Berdasarkan kriteria lainnya
1)      Metode berdasarkan jenis dan kelompok
2)      Metode anuitas
3)      Sistem persediaan
Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK Nomor 25 tentang laba atau rugi bersih untuk periode berjalan, kesalahan mendasar dan perubahan kebijakan akuntansi dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.
2.2     Analisis Masalah
2.2.1 Contoh Soal Perencanan Pajak Atas Penyusutan
          PT. Abdi membeli asset tetap berupa mesin, dengan harga perolehan Rp 1.000.00.000. Mesin tersebut dlam asset tetap kelompok 1. Besarnya beban penyusutan dapat dilihat pada Tabel.
Tahun
Metode Penyusutan
Garis Lurus
Saldo Menurun
1
2
3
4
250.000.000
250.000.000
250.000.000
250.000.000
500.000.000
250.000.000
125.000.000
125.000.000
Akum. Penyusutan
1.000.000.000
1.000.000.000
           

         




          Dari table 1 dapat dilihat bahwa besarnya beban penyusutan oer tahun berbeda-beda tetapi pada akhir masa manfaat (tahun ke-4) jumlah akumulasi penyusutan adalah sama. Sehingga dalam perpajakan perbedaan besarnya beban penyusutan ini dikenal dengan istilah beda waktu/beda sementara (timing difference/temporary difference). Walaupun berdasarkan nilai nominal pada akhir masa manfaat bsarnya akumulasi beban penyusutan sama, namun jika ditinjau dari nilai tunai (present value) jumlahnya akan menjadi berbeda.
            Dalam contoh ini, untuk mengetahui nilai tunai (present value) tingkat diskon yang digunakan adalah 20%. (Lihat tabel).
Tahun
Metode Penyusutan
Garis lurus
Saldo Menurun
Tingkat diskon
(20%)
Nominal PV
PV
Nominal PV
PV
1
2
3
4
250.000.000
250.000.000
250.000.000
250.000.000
208.333.333,30
173.611.111,10
144.675.925,90
120.563.271,60
500.000.000
250.000.000
125.000.000
125.000.000
416.666.666,70
173.611.111,10
72.337.963,00
60.281.635,80
0,833333
0,694444
0,578703
0,482253

1.000.000.000
647.183.641,90
1.000.000.000
722.897.376,60

         
Dari table diatas dapat dilihat bahwa mesin yang pada saat perolehannya sebesar Rp 1.000.000.000,00 dan pada akhir masa manfaat (tahun ke-4) dengan discount factor 20% jumlah nilai tunai (present value) dari akumulasi beban penyusutan mesin dengan menggunakan metode garis lurus sebesar Rp 647.183.642 dan menggunakan metode saldo menurun sebesar Rp 722.897.76,50
Tabel (Perbandingan besar penghematan pajak antara mertode garis lurus dan metode saldo menurun dengan tingkat diskonto 20%.
Ket
Garis lurus (Rp)
Saldo Menurun (Rp)
Nominal PV
PV
(Tingkat diskon 20%)
Nominal PV
PV
(Tingkat diskon 20%)
1
2
3
1.000.000
1.000.000
300.000.000
1.000.000.000
647.183.641,98
194.115.092,59
500.000.000
1.000.000.000
300.000.000
416.666.666,70
722.897.376,54
216.869.212,96
Penghematan pajak = Rp 216.869.212,96 – Rp 194.115.092,59 = Rp 22.714.120,37

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh besarnya penghematan pajak yang dapat dilakukan jika perusahaan memilih metode saldo menurun dalam menghitung besarnya beban peyusutan. Tarif pajak yang digunakan adalah tarif pajak tertiggi yaitu 30% karena diasumsikan bahwa perusahaan telah mencapai laba di atas Rp 100.000.000. Dengan tingkat diskon 20% besar penghematan pajak adalah  Rp 216.869.212,96 – Rp 194.115.092,59 = Rp 22.714.120,37.