Kata “perubahan” telah
menjadi sangat popular belakangan ini. Dari forum-forum informal seperti
obrolan di kantin-kantin sampai yang sangat formal dibicarakan oleh para ahli
strategi di korporasi bisnis, universitas ataupun lembaga pemerintahan, nampak
antusiasme yang sangat tinggi ketika topik yang dibahas adalah mengenai
perubahan. Perubahan teknologi yang revolusioner, perubahan sosial-politik dan
ekonomi, konsumen yang makin sulit diprediksi, lingkungan bisnis yang makin
kompleks, dan lain sebagainya. Angin perubahan memang tengah dan akan terus
berhembus, bahkan meningkat kecepatannya dari hari ke hari.
Namun, antusiasme itu
seringkali tak tertransformasikan secara baik ke level operasional. Mind-set
ataupun paradigma tentang perubahan seringkali lebih terapresiasi ketika
masih dalam tahap formulasi strategi. Dan ketika ide itu diadopsi dan
selanjutnya diimplementasi, resistensi pun muncul kemudian, bahkan kadangkala
ketika sebuah awal sedang dimulai.
Leonardo da Vinci pun
pernah menulis: “It is easier to resist at the beginning than at the end”. Banyak
yang sepakat dengan pernyataan tersebut. Ini terjadi pada banyak organisasi,
dimana resistensi hampir tidak pernah absen ketika organisasi tersebut mulai
menerapkan sesuatu yang baru, entah itu strategi baru, proses baru ataupun
sistem yang baru sebagai antisipasi terhadap perubahan-perubahan eksternal.
Penerapan strategi baru,
proses baru ataupun sistem baru memang identik dengan perubahan-perubahan
internal lainnya. Bahkan ketika organisasi mencanangkan suatu visi barupun,
banyak perubahan yang harus menyertainya. Visi menjadi universitas terkemuka di
dunia misalnya, haruslah disertai perubahan dalam kapabilitas layanan akademis,
teknologi, disiplin dan komitmen, bahasa internasional, dan perubahan-perubahan
lain yang sangat mendukung pencapaian visi tersebut.