A.
Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard pertama kali diperkenalkan
oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton sebagai alat ukur kinerja perusahaan
untuk lingkungan bisnis modern. Pada awalnya, Balanced Scorecard diciptakan
untuk mengatasi problem kelemahan pengukuran kinerja manajemen yang
terlalu berfokus pada keuangannya. Selanjutnya Balanced Scorecard mengalami
perkembangan dalam implementasinya di perusahaan. Yaitu tidak hanya sebagai
alat pengukuran namun meluas sebagai Kaplan dan Norton (1996) menjelaskan bahwa
Balanced Scorecard tetap mempertahankan ukuran finansial tradisional. Namun,
Balanced Scorecard melengkapi seperangkat ukuran tersebut dengan ukuran
pendorong (drivers) kinerja masa depan.
Adapun Kaplan dan Norton (1992) mempublikasikan pertama kali tentang Balance scorecard (BSC) yang kemudian berkembang pesat, dan sampai akhir
ini Kaplan telah melembagakan BSC dan mempublikasikan hasil pengamatannya
setiap tahun. Berbagai publikasi Kaplan dan Norton yang berkaitan dengan BSC
pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun pemahaman dan pengalaman penggunaan
BSC.
Publikasi ini seperti yang berkaitan dengan Alligment (2004), Strategy
(1996), Strategy Maps (2006)
dan sebagai bagian daripada Strategic
Management (2007). Adapun upaya yang dilakukan mereka semakin meyakinkan
bahwa keberadaan daripada BSC lebih daripada sekedar alat ukur, namun menjadi
bagian daripada strategi. Dengan melakukan penelusuran terhadap publikasi
terkait, diharapkan bahwa benang merah, praktek, dan kemajuan terkini terkait
dengan BSC dapat dijadikan pembelajaran baik secara akademis maupun praktis.
B.
BSC dalam pengukuran kinerja
Kaplan dan Norton yang menggagas pentingnya konsep BSC. Anonim (2005)
mendefinisikan BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang
menghubungakan sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. Untuk itu
diperjelas juga bahwa indikator yang digunakan harus merupakan kegiatan dan
proses kegiatan inti lingkungan organisasi beroperasi. Ucapannya yang
mengatakan “What you measure is what you get” menjadi premis dalam
penyusunan ukuran hasil yang diharapkan.
Dalam studi yang dilaksanakan oleh Kaplan dan Norton (1992) terhadap 12
korporasi, didapat sebenarnya bahwa korporasi tersebut telah mengadopsi
scorecard. Kapalan dan Norton melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja
yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan secara terpisah, bahkan cenderung
kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi. Oleh karena itu
dibutuhkan alasan untuk menggunakan konsep scorecard karena:
1. Scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen yang utuh, kelemahan
pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi perusahaan
yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi, memperbaiki
kualitas terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan mengelola
untuk jangka waktu panjang.
2. Scorecard menjadi pedoman untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan. Sejak
1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton bahkan
oleh penulis lain.
Penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi
capaian dengan visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang
dilaksanakan oleh organisasi. Sifat BSC kemudian yang menekankan kepada sistem
manajemen tidak hanya memampukan organisasi tapi juga membantu perusahaan
mengklarifikasi visi dan menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional,
ukuran dan tindakan yang jelas dan sesuai dengan misi dan nilai inti
organisasi.
Mutasowifin (2002), Purwanto, A.T (2003) menggagas penerapan BSC pada koperasi dan
pengelolaan sumberdaya alam. Artinya, karena dinilai bahwa konsep ini baik maka
banyak organisasi mengadopsinya. Apapun terjemahannya di dalam Bahasa
Indonesia, ide utama BSC adalah adanya satu Papan Nilai yang seimbang yang
dapat digunakan sebagai alat ukur mementnukan apakah satu organisasi dinilai
berhasil atau tidak. Dari definisi tersebut pengertian sederhana dari Balanced Scorecard adalah kartu nilai
yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara
sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan
faktor internal dan eksternal. Konsep ini yang memberikan satu jawaban bahwa
perusahaan yang berhasil didasarkan kepada keseimbangan 4 hal yaitu: keuangan,
customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran & pertumbuhan.
Hal ini mudah dipahami karena 4
perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan yang oleh Kaplan
digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan lainnya.
1. Perspektif pelanggan
Perspektif ini menunjukkan seperti apa perusahaan di mata
pelanggan. Pelanggan mempunyai kemampuan teknis melihat korporasi dari berbagai
sisi: waktu, kualitas, kinerja dan jasa, dan biaya yang dikeluarkan oleh
pelanggan untuk memperoleh pelayanan. Dimensi kebutuhan pelanggan demikian pada
akhirnya akan menentukan bagaimana perusahaan dilihat oleh pelanggan. Semakin
baik persepsi pelanggan, semakin baik pula nilai korporasi dimata pelanggan.
2. Perspektif keuangan
Pertanyaan yang harus dijawab perusahaan di sini adalah
bagaimana kita dilihat oleh pemegang saham baik pada jangka pendek maupun
jangka panjang. Korporasi bisa rugi pada waktu tertentu, akan tetapi pemegang
saham menyadari bahwa setelah itu korporasi akan mendapat keuntungan, sehingga
dividen akan diperoleh. Semakin baik korporasi dimata pemegang saham, semakin
aman korporasi memperoleh sumber modal.
3. Perspektif proses bisnis internal
Ukuran ini menunjukkan dalam proses produksi seperti apa
korporasi lebih baik. Orientasi kepada pelanggan memang mutlak, akan tetapi
permasalahan bagi manajemen adalah bagaimana caranya menyiapkan kompetensi yang
dapat memenuhi kebutuhan Pelanggan.
4. Perspektif pembelajar dan pertumbuhan
Perspektif ini menunjukkan bagaimana korporasi dapat
bertahan dan kemampuan berubah sesuai dengan tuntutan eksternal. Perhatikan
dengan baik bahwa scorecard (papan nilai)
diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang secara implisit
mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi.
Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi “mesin”
penggerak semua kegiatan. Visi dan misi yang terformulasi oleh Kaplan
dinyatakan dengan 4 perspektif seperti di atas.
Menurut Kaplan, terjemahan visi untuk masingmasing perspektif di atas
haruslah diuji dengan masing-masing criteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran,
3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini
mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4
perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan perusahaan hanya
dapat tumbuh bilamana perusahaan mempunyai posisi di benak pelanggan (share
value), sementara posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila perusahaan
mempunyai proses belajar.
Dari pandangan akademis, Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah
perusahaan melakukan eksperimen. Dari awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap
keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai diputuskan bahwa 4 perspektif
itu memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang,
Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama dengan sejumlah perusahaan untuk
menentukan cara bagaimana perusahaan agar berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja
keuangan sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan
(customer, proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja
dalam rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan
sekumpulan perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga
muncul perusahaan ataupun konsultan yang membuat program kepada sekumpulan
perusahaan untuk mengikuti programnya.
Dari hasil pengamatan diakui bahwa perusahaan–perusahaan yang berada di
dalamnya mengalami kemajuan karena setiap pengambilan kebijakan tetap
mempertimbangkan perspektif tersebut. Perkembangan implementasi BSC semakin
lama semakin marak, karena kemudian dilanjuti dengan bagaimana kemajuan
misalnya seperti penentuan pengupahan dengan sistem BSC. Bahkan para pengguna
BSC menyiapkan perangkat lunak (Software) untuk menentukan bagaimana satu
bisnis dapat berhasil.
Dari perkembangan awal dapat digarisbawahi bahwa peran BSC adalah
sebagai alat ukur hasil, dimaksudkan untuk evaluasi, jauh dari posisi
strategis. Akan tetapi dari seri buku-buku dan riset yang ditawarkan oleh
Kaplan dan Norton akhirnya diakui bahwa permasalahan BSC bukan pada level evaluasi
semata, akan tetapi harus dimulai dari penyusunan strategi. Karena dalam series
buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan dan Norton, permasalahan BSC
harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak dari awal. BSC
menjadi populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran hasil
dan penuntasan masalah strategi.
Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan mengapa BSC digunakan dalam
organisasi.
1. BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya,
dan kesenjangan kinerja.
2. BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan inlektual
dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3. BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis
yang fokus kepada upaya-upaya non finansial.
4. BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam
operasi perusahaan hari ke hari.
5. BSC memafsilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu.
C.
Sifat dan strategi implementasi serta penghambat utama strategi
termasuk peran manajemen tengah dan pentingnya peran komunikasi organisasi
Sifat dan strategi
implementasi berkait erat dengan perumusan dan pelaksanaannya di lapangan.
Namun kelemahan utama praktek manajemen strategis umumnya terkait dengan tahap
implementasi. Mintzberg (1994) menegaskan bahwa lebih dari setengah dari
strategi yang dibuat oleh organisasi tidak pernah benar-benar diterapkan.
Impelmentasi
strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi. Strategi
implementasi berarti memobilisasi karyan dan manajer untuk mengubah strategi
yang dirumuskan menjadi tindakan. Sering dianggap sebagai tahap paling
sulit dalam manajemen strategis, implementasi strategis memerlukan disiplin
pribadi, komitmen, dan pengorbanan. Keberhasilan implementasi strategi
tergantung pada kemampuan manajer untuk memotivasi karyawan, yang lebih
merupakan seni ketimbang pengetahuan.
Strategi korporasi
diturunkan dan Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga kalau
tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006)
menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu:
1. Komunikasi yang sulit antar staf,
2. Komitemen manajemen operasional lemah,
3. Gagal menerima umpan balik dan mekanismenya,
4. Basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid,
5. Perencanaan fungsional tidak konsisten, dan
6. Penilaian sumberdaya tidak konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa
BSC adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin itu
adalah hal yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang
kemudian diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan
tetapi, bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai
awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masingmasing
perspektif dengan strategi sangat kuat.
Hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat manfaat
penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1)
pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam
pengukuran kinerja, 3)
penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan
yang kuat antara indikator kinerja dengan kinerja perusahaan karena adanya
komunikasi strategi kepada staf dan karyawan. Hasil yang sama juga dilaporkan
oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu:
1. Pemahaman baik manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan
tindakan dan strategi yang dipilih.
2. Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan.
3. Rekayasa mendasar dari proses bisnis.
4. Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara
fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan
D.
Tingkat keseimbang BSC dalam menangani implementasi
strategi
Konsep dan langkah yang ditempuh oleh Kaplan
sangat dikenal dalam pengukuran kinerja perusahaan, karena dinilai dapat
menyelesaikan kelemahan konsep pengukuran tradisional yang dicirikan oleh
pengukuran tunggal dan terpisah satu dengan lainnya. Namun dari berbagai
pengalaman berbagai peneliti menunjukkan kesulitan dalam hal operasional,
menterjemahkan konsep perspektif yang tentunya berbeda antara satu perusahaan
terhadap perusahaan yang berbeda.
Kesulitan ini berkaitan dengan
dibutuhkannya kemampuan teknis untuk menyusun ataupun menterjemahkan konsep
menjadi bagian yang operasional. Menjadi bagaimana yang operasional artinya
mempertimbangkan: kebutuhannya terhadap organisasi dalam rangka menopang
pencapaian tujuan, terlaksana dan dapat diukur. Tidak heran sebelum menerapkan
ini dibutuhkan satu pelatihan yang dimaksudkan agar pemahaman pihak internal
memadai menerapkan konsep menjadi sesuatu yang operasional.
Keunggulan BSC dalam hal ini diakui oleh
para peneliti bahwa BSC menyajikan satu kerangka logis yang terstruktur yang
mengakibatkan setiap devisi perusahaan dapat berinisiasi aktif untuk menentukan
kinerja. Akan tetapi penentuan kinerja ini bagaimanapun harus diikuti dengan
menentukan strategi yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Berkaitan dengan hal ini, Kaplan dalam wawancaranya dengan Lagace
(2008) menjelaskan tantangan penerapan strategi menjadi operasional:
1. Banyak perusahaan menerapkan berbagai program seperti TQM, Six Sigma,
dan lain-lain, tetapi gagal mencatat bagaimana perbaikan organisasi terjadi
bersamaan dengan program demikian.
2. Perencanaan anggaran dan pembiayaan lepas dari strategi, maka apa yang
diperoleh senantiasa tidak menjadi ukuran yang dapat diterima.
E.
BSC dapat mencapai koordinasi dan integrasi yang
diperlukan untuk keberhasilan implementasi strategi
Di dalam sistem manajemen strategik
(strategic management system), ada 2 tahapan penting, yaitu tahapan perencanaan
dan implementasi. Posisi balanced
scorecard awalnya berada pada tahap implementasi. Fungsi balanced
scorecard di sini hanya sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif kepada
para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.
Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para
eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard pada tahapan perencanaan
strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat
pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks
menjelaskan bahwa:
1. Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan
strategi. Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai,
dengan penegasan strategi sejak dari awal.
2. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal
sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan organisasi menerapkan BSC.
Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) diperjelas lagi bahwa
masing-masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain
sehingga realisasinya merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan
maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana
visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu
sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun
maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja
akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena memberikanumpan balik dan
koreksi atas hasil yang diperoleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar