Selasa, 14 Mei 2013

Makalah Manajemen Persediaan - Just In Time (JIT)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi yang sangat pesat, pada perusahaan manufaktur mengakibatkan berkurangnya pemakaian tenaga kerja langsung disatu sisi, namun disisi lain memerlukan pengeluaran investasi yang relative besar untuk menggunakan peralatan modern. Karena keterbatasan dana masih banyak perusahaan yang menggunakan prosedur yang tradisional untuk menghadapi kemajuan teknologi itu sendiri. Namun masyarakat di Negara maju seperti Jepang khususnya komunitas manufaktur mulai mengembangkan suatu system yang disebut Just In Time, dimana sistem ini dilatar belakangi oleh pemborosan- pemborosan tenaga kerja, ruangan dan waktu industri, yang terjadi dikarenakan adanya persediaan (inventory) sehingga biaya produksi menjadi lebih tinggi.
Keunggulan suatu perusahaan terhadap para pesaingnya ditentukan oleh faktor-faktor  yaitu waktu, mutu, biaya dan sumber daya manusia. Waktu merupakan salah satu faktor penentu unggulan daya saing. Jika suatu perusahaan ingin unggul dari faktor waktu maka perusahaan harus dapat melayani permintaan konsumen tepat waktu, mengeliminasi atau mengurangi waktu untuk aktivitas yang tidak bernilai tambah, dan mengefisiensikan waktu untuk aktivitas bernilai tambah. Salah satu alat agar perusahaan mempunyai keunggulan dari segi faktor waktu adalah dengan mengembangkan dan menerapkan konsep-konsep JIT.
Operasi JIT merupakan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi segala macam sumber pemborosan dalam aktivitas produksi, dengan memberikan komponen produksi yang tepat serta pada waktu dan tempat yang tepat. Dalam pengertian luas, JIT adalah suatu filosofi tepat waktu yang memusatkan pada aktivitas yang diperlukan oleh segmen-segmen internal lainnya dalam suatu organisasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Tinajuan Pustaka
2.1.1 Defenisi Just In Time (JIT)
            Just In Time merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya apabila ada permintaan (full system) atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang diminta, pada saat diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta.
          Prinsip dasar Just In Time adalah peningkatan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon perubahan dengan minimisasi pemborosan.  Menurut Henri Simamora dalam bukunya Akuntansi Manajemen, Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan.
2.1.2 Tujuan Strategis Just In Time (JIT)
Tujuan dari adanya manajemen menggunakan dan mengembangkan konsep manajemen Just In Time dalam perusahaan dapat dirangkum atas beberapa aspek. Adapun tujuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:


1.      Meningkatkan efisiensi proses produksi
Peningkatan efisiensi dapat dilakukan terutama melalui pengurangan persediaan barang sehingga mengakibatkan pengurangan biaya persediaan, atau dengan kata lain meningkatkan perputaran modal. Biaya persediaan ini sangat tinggi, berkisar antara 20 persen–40 persen dari harga barang pertahun. Efisiensi didapat juga dengan cara mendesain pabrik sedemikian rupa sehingga proses produksi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan aman.
2.      Meningkatkan daya kompetisi
Meningkatnya efisiensi dalam proses produksi dengan sendirinya akan meningkatkan daya saing perusahaan. Hal ini dianggap salah satu tujuan yang paling penting, yaitu suatu tujuan strategis, karena peningkatan efisiensi berarti penurunan biaya dan ini memungkinkan perusahaan untuk tetap bertahan dalam persaingan pasar.
3.      Meningkatkan mutu barang
Kemitraan pembeli (perusahaan) – penjual (penyedia bahan baku)  yang dibina dan berlangsung dalam jangka panjang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan secara terus menerus dalam hal mutu dan biaya barang. Mutu tinggi dari suku cadang atau komponen yang dipasok oleh pemasok pada gilirannya akan meningkatkan mutu barang yang diproduksi oleh perusahaan. Kemitraan penjual pembeli memungkinkan melakukan pengendalian mutu suku cadang atau komponen dengan lebih murah dan lebih handal.

4.      Mengurangi pemborosan
Pengurangan pemborosan terutama dalam bentuk barang yang terbuang, karena pada hakekatnya pemborosan adalah biaya.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara :
1.      Mengeliminasi atau mengurangi persediaan
2.      Meningkatkan mutu
3.      Mengendalikan aktivitas supaya biaya rendah  (sehingga memungkinkan harga jual rendah dan laba meningkat)
4.      Memperbaiki kinerja pengiriman.
          2.1.3 Kelemahan Just In Time (JIT)
Satu kelemahan sistem JIT adalah, tingkatan order ditentukan oleh data permintaan historis. Jika permintaan naik melebihi dari rata-rata perencanaan historis maka inventori akan habis dan akan mempengaruhi tingkat pelayanan konsumen.
Perlu kita ketahui bahwa pengimplementasian konsep Just In Time (JIT) dalam perusahaan juga tidak mudah. Kegiatan produksi akan terhenti dan tenggang waktu pengiriman tidak terpenuhi apabila salah satu komponen bahan penting hilang atau ditemukan cacat. Sedangkan pemasok harus mampu menyerahkan bhan baku yang bebas dari cacat pada waktu dan jumlah yang tepat. Hal ini berarti perusahaan perlu mengandalkan pemasok yang betul-betul dapat diandalkan dan juga pemasok yang yang sanggup untuk memasok bahan baku dalam jumlah yang tepat sebelum proses produksi dilaksanakan.
Oleh karena itu disamping konsep Just In Time (JIT)  menghasilkan benefit yang tinggi karena aktifitas evesiensi biaya namun diiringi juga dengan risiko yang tinggi pula. Pilihan ini tentu saja harus membuat perusahaan berfikir lebih komprehensif sehingga perusahaan dapat mengantisipasi segala kemungkin untuk meminimalisir risiko.
2.1.4  Filosofi JIT
Konsep Just In Ti me (JIT) adalah sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan terbaik yang ada di Jepang, sejak awal tahun 1970an, JIT pertama kali dikembangkan dan disempurnakan di pabrik Toyota Manufacturing oleh Taiichi Ohno, oleh karena itu Taiichi Ohno sering disebut sebagai bapak JIT, Konsep JIT berprinsip hanya memproduksi  jenis-jenis barang yang diminta (what) sejumlah yang diperlukan (How much) dan pada saat dibutuhkan (When) oleh konsumen.
Just In  Time (JIT) merupakan keseluruhan  filosofi dalam operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan  baku dan suku cadang,  personalia, dan fasilitas dipakai sebatas  dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan.
Fujio Cho dari Toyota mendefinisikan pemborosan (waste) sebagai: Segala sesuatu yang  berlebih, di luar kebutuhan minimum atas peralatan, bahan, komponen, tempat, dan waktu kerja yang mutlak diperlukan untuk proses nilai tambah suatu produk.
Dalam bahasa sederhanya pengertian pemborosan adalah  segala sesuatu tidak memberi nilai tambah itulah pemborosan.
Ada 5 jenis pemborosan yang perlu diidentifikasi dalam Just In Time (JIT):
1.      Waktu pemrosesan : waktu aktual untuk menghasilkan suatu produk.
2.      Waktu pindah : waktu yang digunakan untuk memindahkan dari satu departemen ke depatemen yang lain.
3.       Waktu inspeksi : waktu yang digunakan untuk menentukan produk rusak atau mengerjakan ulang produk yang rusak tsb
4.      Waktu tunggu : waktu yang dihabiskan suatu produk karena menunggu untuk dikerjakan ketika sampai pada departemen berikutnya
5.      Waktu penyimpanan : waktu yang dibutuhkan suatu produk baik dalam gudang penyimpanan persedianan setengah jadi maupun setelah barang jadi sampai di gudang.       
2.1.4  Perbandingan Sistem Just In Time (JIT) dan Tradisional
JIT
TRADISIONAL
  1. Sistem tarikan
  2. Persediaan tidak signifikan
  3. Basis pemasok sedikit
  4. Kontrak jangka panjang dengan pemasok
  5. Pemanufakturan berstruktur seluler
  6. Karyawan berkeahlian ganda
  7. Jasa terdesentralisasi
  8. Keterlibatan karyawan tinggi
  9. Gaya manajemen sebagai penyedia fasilitas
    10.  Total quality control (TQC)
  1. Sistem dorongan
  2. Persediaan signifikan
  3. Basis pemasok banyak
  4. Kontrak jangka pendek dengan pemasok
  5. Pemanufakturan berstruktur departemen
  6. Karyawan terspesialisasi
  7. Jasa tersentralisasi
  8. Keterlibatan karyawan rendah
  9. Gaya manajemen sebagai pemberi perintah
         10.  Acceptable quality level (AQL)
         











1.      Sistem tarikan dibanding sistem dorongan
Sistem tarikan adalah system penentuan aktivitas-aktivitas berdasar atas permintaan konsumen, baik konsumen internal maupun konsumen eksternal. Sebagai contoh dalam perusahaan pemanufakturan permintaan konsumen melalui aktivitas penjualan menentukan aktivitas produksi, dan aktivitas produksi menentukan aktivitas pembelian.
System dorongan adalah system penentuan aktivitas-aktivitas berdasar dorongan aktivitas-aktivitas sebelumnya. Pembelian bahan melalui aktivitas pembelian mendorong aktivitas produksi, dan aktivitas produksi mendorong aktivitas penjualan.
2.      Persediaan tidak signifikan dibanding persediaan signifikan
Karena JIT menggunakan system tarikan maka dapat mengurangi persediaan menjadi tidak signifikan atau dengan kata lain dikurangi sampai tingkat minimum persediaan yaitu 0 .
Sebaliknya, dalam system tradisional, karena menggunakan system dorongan maka persediaan jumlanya signifikan sebagai akibat jumlah bahan yang dibeli melebihi kebutuhan produksi, jumlah produk yang diproduksi melebihi permintaan konsumen dan perlu adanya persediaan penyangga. Persediaan penyangga diperlukan jika permintaan konsumen melebihi jumlah produksi dan jumlah bahan yang digunakan untuk produksi melebihi jumlah bahan yang dibeli.
3.      Basis pemasok sedikit dibanding basis pemasok banyak
JIT hanya menggunakan pemasok dalam jumlah sedikit untuk mengurangi atau mengeliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah, memperoleh bahan yang bermutu tinggi dan berharga murah.
Sedangkan system  tradisional menggunakan banyak pemasok untuk memperoleh harga yang murah dan mutu yang baik, tapi akibatnya banyak aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah dan untuk memperoleh harga yang lebih murah harus dibeli bahan dalam jumlah yang banyak atau mungkin dengan mutu yang rendah.
4.      Kontrak jangka panjang dibanding kontrak jangka pendek
JIT menerapkan kontrak jangka panjang dengan beberapa pemasoknya guna membangun hubungan baik yang saling menguntungkan sehingga dapat dipilih pemasok yang memasok bahan berharga murah, bermutu tinggi, berkinerja pengiriman tepat waktu dan tepat jumlah serta dapat mengurangi frekuensi pemesanan.
Sedangkan tradisional menerapkan kontrak-kontrak jangka pendek dengan banyak pemasok sehingga untuk memperoleh harga murah harus dibeli dalam jumlah yang banyak atau mungkin mutunya rendah.
5.      Struktur seluler dibanding struktur departemen
Struktur seluler dalam JIT adalah pengelompokan mesin-mesin dalam satu keluarga, biasanya kedalam struktur semilingkaran atau huruf “U” sehingga satu sel tertentu dapat digunakan untuk melakukan pengolahan satu jenis atau satu keluarga produk tertentu secara berurutan. Setiap sel pemanufakturan pada dasarnya merupakan pabrik mini atau pabrik di dalam pabrik. Penggunaan struktur seluler ini dapat mengeliminasi aktivitas, waktu, dan biaya yang tidak bernilai tambah. 
Sedangkan struktur departemen dalam system departemen adalah struktur pengolahan produk melalui beberapa departemen produksi sesuai dengan tahapan-tahapannya dan memerlukan beberapa departemen jasa yang memasok jasa bagi departemen produksi. Akibatnya struktur departemen menimbulkan aktivitas-aktivitas serta waktu dan biaya-biaya tidak bernilai tambah dalam jumlah besar.
6.      Karyawan berkeahlian ganda dibanding karyawan terspesialisasi
System JIT yang menggunakan system tarikan waktu “bebas” harus digunakan oleh karyawan struktur seluler untuk berlatih agar berkeahlian ganda sehingga ahli dalam berproduksi dan dalam bidang-bidang jasa tertentu misalnya pemeliharaan pencegahan, reparasi, setup, inspeksi mutu.
 Sedangkan pada system tradisional system karyawan terspesialisasi berdasarkan departemen tempat kerjanya misalnya departemen produksi atau departemen jasa. Karyawan pada departemen jasa terspesialisasi pada aktivitas penangan bahan, listrik, reparasi, dan pemeliharaan, karyawan pada departemen produksi terspesialisasi pada aktivitas pencampuran, peleburan, pencetakan, perakitan, dan penyempurnaan.
7.      Jasa terdesentralisasi dibanding jasa tersentralisasi
System tradisional mendasarkan pada system spesialisasi sehingga jasa tersentralisasi pada masing-masing departemen jasa. Sedangkan pada system JIT jasa terdesentralisasi pada masing-masing struktur seluler, para karyawan selain ditugaskan untuk berproduksi tapi juga harus ditugaskan pada pekerjaan jasa yang secara langsung mendukung produksi dalam struktur selulernya.
8.      Keterlibatan tinggi dibanding keterlibatan rendah
Dalam system tradisional, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan relative rendah karena karyawan fungsinya melaksanakan perintah atasan. Sedangkan dalam system JIT manajemen harus dapat memberdayakan para karyawannya dengan cara melibatkan mereka atau memberi peluang pada mereka untuk berpartisipasi dalam manajemen organisasi. Menurut pandangan JIT, peningkatan keberdayaan dan keterlibatan karyawan dapat meningkatkan produktviitas dan efisiensi biaya secara menyeluruh. Para karyawan dimungkinkan untuk membuat keputusan mengenai bagaimana pabrik beroperasi.
9.      Gaya pemberi fasilitas dibanding gaya pemberi perintah
System tradisional umumnya menggunakan gaya manajemen sebagai atasan karena fungsi utamanya adalah memerintah para karyawannya untuk melaksanakan kegiatan. Sedangkan pada system JIT memerlukan keterlibatan karyawan sehingga mereka dapat diberdayakan, maka gaya manajemen yang cocok adalah sebagai fasilitator dan bukanlah sebagai pemberi perintah.
10.  TQC dibanding AQL
TQC (Total Quality Control) dalam JIT adalah pendekatan pengendalian mutu yang mencakup seluruh usaha secara berkesinambungan dan tiada akhir untuk menyempurnakan mutu agar tercapai kerusakan nol atau bebas dari kerusakan. Produk rusak haruslah dihindari karena dapat mengakibatkan penghentian produksi dan ketidakpuasan konsumen.
Sedangkan AQL (Accepted Quality Level) dalam system tradisional adalah pendekatan pengendalian mutu yang memungkinkan atau mencadangkan terjadinya kerusakan namun tidak boleh melebihi tingkat kerusakan yang telah ditentukan sebelumnya.


BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
JIT (Just In Time)  merupakan suatu system yang dikembangkan atas dasar perbaikan dari kekurangan pada system tradisional. Dimana dalam langkah JIT (Just In Time) pemborosan yang terjadi dalam system tradisional berusaha untuk mengeliminasi pemborosan-pemborosan biaya yang timbul akibat banyaknya waktu yang digunakan dalam memproduksi suatu barang  sehingga perusahaan dapat meningkatkan laba dan memperbaiki posisi persaingan perusahaan.
3.2   Saran
Perbandingan System Tradisional dengan Sistem JIT (Just In Time) diketahui bahwa Sistem JIT (Just In Time) memiliki keunggulan dalam penghematan waktu dan biaya dalam memproduksi barang. Oleh karena itu Manajemen Perusahaan sebaiknya mengambil keputusan untuk menggunakan Sistem JIT (Just In Time) dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar